Selasa, 10 November 2015

SOAL UJIAN PRAKTIKUM MBPSTD SEMESTER GANJIL 2015-2016

           Bagi Siswa Kelas XI RPL (2015-2016) yang akan mengikuti Ujian Praktikum mata pelajaran Menerapkan Bahasa Pemrograman SQL Tingkat Dasar (MBPSTD). Silahkan Download soal dibawah ini. sebagai persyaratan untuk mengikuti ujian Praktikum.
                       PAKET 1 Unduh
                       PAKET 2 Unduh
                       PAKET 3 Unduh
                       PAKET 4 Unduh
            Kerjakan Soal sesuai dengan perintah yang ada, sesuai dengan paket yang telah ditentukan. Kumpulkan hasil pekerjaan paling lambat tanggal 23 November 2015, atau sehari sebelum pelaksanaan ujian Praktikum.
           Jadwal Pelaksanan Praktikum Menyusul.

Dedik Ariyanto, S.Kom
SMK Mamba'ul Ihsan Banyuurip Ujungpangkah Gresik

Jumat, 30 Oktober 2015

AKU DAN MOTOR AYAH


Jalanan  sepi siang ini, hanya ada beberapa kendaraan melintas. Sebuah mobil hitam melaju dengan pelan dan beberapa motor lalu lalang. Panas, matahari terik diatas kepalaku. Aku berjalan pelan, mengendarai motor matic merahku. Aku menatap dua spion yang masih bertengger dibagian depan sepeda. Si Merah terlihat gagah. Mulai hari ini Si Merah resmi menjadi milikku. Motor matic berwarna merah yang dibeli Ayahku enam tahun lalu. Aku menyebutnya Si Merah. Body-nya masih mulus, belum ada goresan sedikitpun. Jalannya pun masih lincah. Maklum Ayahku merawat dengan baik Si Merah. Dua minggu sekali Ayah memandikan Si Merah. Setiap bulan Ayah rutin membawa Si Merah ke Dokter Motor.
Aku merasa bahagia hari ini, bisa berjalan-jalan dengan membawa Si Merah. Sebelumnya aku sama sekali tak di izinkan untuk menyentuh Si Merah. Ayah mem-proteksi diriku. Ia selalu beralasan bahwa diriku belum cukup dewasa untuk mengendarai motor. Padahal umurku telah lebih dari delapan belas tahun. Aku sudah cukup dewasa, aku telah mengantongi KTP. Aku pun telah terdaftar sebagai pemilih tetap PEMILU. Aku bukan anak kecil lagi. Tapi begitulah Ayah. Ia punya seribu satu alasan untuk melarangku, mengendarai motor. Aku tak berani melawan Ayah, Aku selalu menurut pada Ayahku. Menjadi anak yang tak berbakti pada orang tua sangatlah tak menyenangkan.
Angin semilir melintas didepanku. Pelan – pelan kupacu Si Merah. Sesekali ku ingat nasehat ayah. “Jangan lupa pakai helm, patuhi rambu – rambu lalu lintas. Nyalakan lampu sein ketika berbelok, sebelumnya lihat kanan – kiri jalan melalui kaca spion. Jika mendahului kendaraan lain, ingat sebelah kanan, bukan langsung menerobos saja, Bahaya!. ” Air mataku menetes, pandanganku sedikit kabur. Kubasuh kedua mataku, kubuka kaca penutup helm yang terpasang di atas kepalaku. Mungkin Ayah akan tersenyum melihatku hari ini. Aku benar – benar mematuhi nasehatnya. Menjadi anak penurut seperti keinginan Ayah. Menjadi seseorang anak yang bisa ia banggakan. Aku tak akan mengecewakan Ayah lagi.
Ah... lagi – lagi aku tak bisa membendung air mataku. []
***
Hape disampingku berdering, sedikit malas aku angkat.
Ded, dimana?” suara diseberang sana, menyapa tiba – tiba.
Dirumah” jawabku pelan.
Sebentar lagi aku jemput, diam aja dirumah.!
Ya...
Ok...!
Handi menutup telepon, aku hanya mendengus pelan. Pagi tadi di sekolah Aku berjanji dengan Handi, sore ini akan pergi melihat drag motor. Balapan motor liar. Ilegal, yah..., balapan ilegal. Beberapa anak muda sering melakukan balapan motor liar. Di jalan yang mungkin sedikit sepi dan memang sangat sepi, tak terlalu banyak kendaraan yang melintas. Letaknya pun agak tersembunyi, jauh dari jalan utama. Sebelah kanan jalan, Hutan Jati tumbuh rimbun dan di sebelah kiri jalan adalah laut. Tempat yang menyenangkan untuk menyegarkan pikiran. Melihat laut luas, dan menatap rimbunan hijau yang menenangkan. Setiap sore ditempat ini banyak pemuda - pemuda berkumpul. Nongkrong bareng teman – teman atau berduaan dengan orang yang di sayang. Sejak beberapa bulan lalu sering diadakan drag motor liar. Entah siapa yang memulai. Aku tak terlalu memikirkannya. Aku jarang datang ketempat itu, hanya sesekali. Itupun karena di ajak Handi. Aku tak mungkin kesana dengan berjalan kaki, tempatnya terlalu jauh dari rumahku.
Tit... Tit....
Handi membunyikan klakson, ia telah berdiri didepan rumahku dengan sepeda motor gede-nya. Si Macan putih yang ia tunggangi tampak gagah. Aku keluar menyemputnya.
“Tunggu bentar Han, Aku pamit sama Ayahku dulu.” Teriakku pelan.
Handi hanya mengangguk pelan. Ku hampiri Ayah.
“Yah... pergi dulu.” Kataku pelan. Ayah duduk di sofa depan. Ibu menonton TV di sebelah Ayah.
“Kemana?” tanya Ayah.
“Main sama Handi Yah...” jawabku.
“Ya...!!” Ayah mendesah pelan.
Aku segera berlari menyongsong Handi yang telah menungguku didepan. Handi terlihat keren dengan jaket kulit berwarna coklat tua, celana jeans dan sepatu. Aku hanya mengenakan kaos bergambar dan celana kumal. Sengaja aku memakai pakaian biasa supaya Ayah tak curiga. Aku membawa helm ber-SNI hitam, helm bawa-an sepeda matic yang Ayah beli.
“Buat apa bawa helm Ded ?” Handi menegurku, saat ku kaitkan tali helm.
“Buat keselamatan Han!” jawabku ringan. “Sekali – kali kamu juga pakai helm, Han.!” Handi tak menggunakan helm. Aku sedikit malas mengingatkannya. Setiap kali main denganku, ia tak pernah memakai helm.
“Ya... udah cepat naik !” ia men-starter Si Macan Putih. Suaranya bergemuruh dan menderum pelan Motor mewahnya sungguh membuatku iri. Aku naik dibelakang Handi. Dudukku sedikit menungging, menyesuaikan jok sepeda yang agak naik keatas.
Ayah Handi pengusaha besar di bidang properti. Tak heran jika Ayahnya mampu membelikan motor mewah. Tiap hari ia banggakan Si Macan Putih. Aku memanggilnya begitu, meskipun Handi kurang setuju. Ia punya nama lain yang ia anggap lebih keren. Terserah, aku tak akan menyebutkan merk-nya jadi ku panggil saja Si Macan Putih. Handi teman baikku sejak di kelas 7. Teman main dan teman yang bisa di ajak susah, walaupun ia anak orang kaya.
Si Macan Putih melaju cukup kencang, spidometer menunjuk angka 100. Angin menerobos tak beraturan. Aku memegang tubuh Handi erat. Kulihat senyum kemenangan Handi. Ia tahu Aku ketakutan. Rambutnya acak – acakan ia tak memakai helm. Ia menerobos beberapa pengendara lain dengan santai. Ia sangat ahli mengendalikan motor gede-nya. Beda denganku, Aku tak ahli. Bahkan saat memainkan Game Racing saja, sering motor yang aku mainkan terjungkir di tepi jalan. Ayah tak pernah mengajariku mengunakan motor, ia tak mengizinkan Aku. Handi sering menawarkan diri untuk mengajariku, tapi, motor siapa yang Aku pakai belajar. Ayah pasti akan marah padaku.
“Pelan – pelan Han....!” ucapku sedikit kencang.
“Tenang aja Ded...!!” Handi balas teriak.
Aku hanya bisa pasrah, mulutku komat – kamit berdo’a. Handi semakin menertawakan diriku. Sering sekali Handi membuatku ketakutan seperti ini. Tapi, entah kenapa aku tak pernah kapok.
Tak sampai sepuluh menit, kita telah berada dilokasi. Sore ini sangat ramai, kulihat beberapa pemuda duduk di atas motor kesayangannya, bergerombol di beberapa tempat. Handi memarkir motor gede-nya tak jauh dari dermaga. Aku turun dan duduk ditepian dermaga.
Ombak laut menghantam tembok pembatas antara jalanan dan tepi pantai. Airnya menyembur pelan kearahku, asin. Angin bertiup kencang, gemuruhnya sedikit menganggu pendengaranku. Kulepas helm di kepalaku.
Tak ada tanda – tanda akan ada balapan. Tak kujumpai motor racing di sini. Biasanya motor yang sudah di modifikasi sedemikian rupa itu, banyak berjajar ditepi jalan. Handi sedikit kecewa, ia berputar – putar didepan Si Macan Putih.
“Kayaknya hari ini tak ada balapan Han!” kataku. Handi hanya mengangguk pelan. Matanya mengamati lokasi sekitar. Ia masih berharap akan ada balapan liar sore ini. Beberapa motor melintas pelan didepan kami.
Handi duduk disampingku. Ia mengumpat pelan “Sial...!”
Aku menepuk pundaknya pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tak setiap hari ada balapan. Waktunya pun tak bisa diprediksi sebelumnya. Kadang setiap hari sabtu, tapi kadang juga hari selasa. Kadang jam 4 sore udah dimulai, kadang juga menjelang magrib baru mulai. Yah... namanya juga balapan liar. Tidak ada jadwal pasti. Belum lagi kalo ada razia polisi. Kejar –kejaran dengan polisi menjadi hal biasa di sini. Kadang bisa lolos hanya dengan 2 lembar 100 ribuan, kadang juga harus mendekam sehari di balik jeruji besi. Aku hanya penonton, tak pernah terlibat dengan polisi. Terlebih lagi aku tak ingin membuat Ayahku menanggung malu karena kelakuanku.
“Kita pulang saja Han...!” ajakku. Handi menatap langit luas.
Cahaya jingga mengantung di atas cakrawala. Garis horisontal batas antara laut dan langit terlihat memesona. Awan putih mengelembung dibeberapa bagian. Angin menerobos pelan dan deburan ombak memecah keheningan.
“Bentar Ded, nunggu azan magrib sekalian...!”
“Ya... udah!”
Matahari mulai menghilang, kutatap langit sore.
“Ded, ?” Handi memanggilku.
“Ya...!”
“Kau nggak pengen bisa naik motor sendiri Ded ?” tanya Handi. Pertanyaan Handi sedikit membuatku kacau.
Aku hanya diam. Aku tak tahu harus berkata apa? Lagi – lagi harus berurusan dengan motor.
“Ya... aku masih siap mengajarimu kok, Ded!” tawar Handi.
“Ah... aku tak enak!” jawabku pelan.
“Kenapa?”
Aku diam lagi.
“Kalau kau bisa naik motor sendiri, kita kan bisa gantian nyetir, Ded.”
“Ya...!” jawabku pelan. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.
“Ded, Kau marah!”
“Tidak...!” Aku geragapan. Ku tatap nanar wajah Handi.
“Terus....!”
“Aku tak tahu Han...!
“Maaf Ded... Aku....”
“Sudah... Han. Besok ajari aku naik motor.” Potongku. Aku tak ingin menyakiti hati Handi. Ia terlalu baik, ia temanku. “Sekarang antar aku pulang...!”
Handi mengangguk pelan. Ia putar motornya, aku bangkit dari dudukku. []
***
Ayah, duduk disofa depan. Setelah sholat isya’, aku menghampirinya. Ibu mengupas apel buat Ayah. Ia duduk tak jauh dariku. Aku harus berani, Aku akan meminta Ayah untuk meminjamiku sepeda motor. Selama ini aku selalu menurut pada Ayahku.
“Yah...” Panggilku pelan.
“Hem...” Ayah hanya mendengus.
“Yah...!” panggilku lagi.
“Iya...!” jawab Ayah. Ia masih mengacuhkan diriku. Ayah memang seperti itu. Ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Meskipun begitu ia sangat sayang padaku. Aku anak satu – satunya.
“Ajari Ded, naik motor Yah...!” ucapku. Akhirnya aku keluarkan juga. Telah lama aku menyimpan kalimat ini dimulutku.
Ayah menatapku sejenak. Aku memasang tampang memelas. Ibu memberikan sebongkah apel kepada Ayah. Ayah mengigit kecil Apel. Bunyi gigitanya dapat kudengar dengan jelas. Aku meminta ibu mengupaskan Apel buatku juga.
“Tidak boleh...!!” jawab Ayah singkat.
“Tapi Yah...!”
“Sekali tidak boleh, ya... tidak boleh!”
“Ayah...!!” Aku merajuk pelan. “Ded, sudah besar Yah. Kapan Ayah mengizinkan Ded, naik motor sendiri. Teman – teman Ded...!”
“Ayah tak mau berdebat soal motor.” potong Ayah.
Aku semakin merajuk, aku berharap Ibu menolongku. Tapi rupanya kali ini Ibu sependapat dengan Ayah.
“Ayah...,” rengekku. Ayah masih bertahan dengan egonya. “Yah... Ded sekarang udah besar. Ded, selalu nurut sama Ayah. Kali ini saja Yah, izinkan Ded naik motor sendiri.”
“Belum punya SIM, jangan macem – macem.” kata Ayah santai.
Aku bersandar di pangkuan Ibuku. Ibu membelai rambutku pelan. Aku sedikit manja dengan Ayah dan Ibu.
“Dengerin omongan Ayah, Ded. Nggak usah neko – neko, nanti kalau sudah waktunya pasti bisa kok.!”
“Tapi kapan?” tanyaku. “Ded malu Bu...!” aku sedikit memainkan emosiku. “Tiap ke sekolah selalu di antar, pulang di jemput. Ded bukan anak kecil. Ded, anak SMA. Teman – teman Ded, pergi sekolah naik motor sendiri.”
“Nggak usah membantah orang tua Ded.” Ucap pelan Ibu.
“Ded, tidak membantah. Ded, Cuma pengen Ayah dan Ibu mengerti, kalau Ded udah dewasa.”
“Ya sudah... kalau nggak mau di antar sama Ayah kesekolah. Mulai besok berangkat sekolah sendiri.” vonis Ayah.
“Ayah....!” ucapku kesal. “Ayah kok nggak ngerti perasaan Ded! Sekolah Ded kan jauh Yah. Nggak mungkin jalan kaki. Naik angkot juga, kadang – kadang rebutan sama pedagang pasar. Ded, nggak mau telat sekolah.”
“Katanya malu di antar sama Ayah. Ya sudah, itu resiko kamu...! Makanya bangun pagi biar nggak telat. Lagian jalan pagi – pagi ke sekolah juga nggak ada salahnya. Sekalian olahraga.” Timpal Ibu.
Aku merengut
“Ibu kok nggak membela Ded. Ibu sama saja dengan Ayah. Sama – sama nggak mengerti Ded.” Aku hampir menangis.
Aku tak tahu lagi, harus berbuat apa. Ayah dan Ibu sama sekali tak peduli dengan diriku. Aku pernah berpikir, jangan – jangan mereka bukan orang tuaku. Ayah selalu melarangku, untuk melakukan apapun yang aku suka, Ibu juga. Tapi aku sangat mirip dengan Ayah. Sifatku juga, meski aku sedikit cenggeng.
“Sudah, Ibu mau nonton Sinetron. Katanya sudah gede, kok masih nangis.” ejek Ibu.
“Yang nangis siapa Bu! Ded Cuma sedih, Ayah dan Ibu nggak ngerti perasaan Ded.”
Ibu bangkit dari duduknya dan menyalakan TV. Ibu tak menghiraukan diriku lagi.  Ia segera larut dalam aliran drama sinetron di TV. Sinetron yang menurutku sangat jelek, sinetron yang bla bla bla....
“Punya SIM dulu, baru boleh naik motor sendiri.” Ujar Ayahku.
Aku tertunduk lesu.
“Ayah, buat Ded kecewa.” Kataku kesal. “Ayah curang, nggak mungkin Ded, punya SIM. Naik motor saja nggak bisa. Bagaimana bisa punya SIM ? Syarat punya SIM kan harus mahir naik motor dulu.”
“Makanya, nggak usah minta yang aneh – aneh.” celetuk Ibu.
“Ded, nggak minta yang aneh – aneh. Ded, hanya minta Ayah mengajari Ded, naik Motor....!” teriakku.
“Sekali tidak, tetap tidak!” ucap Ayah.
“Ayah Jahat....!!” Aku menangis, aku tak bisa lagi membendung sakit hatiku.
“Nanti kamu akan mengerti Ded, kenapa Ayah nggak mengizinkan kamu. Bukannya Ayah nggak sayang, atau jahat. Cuma Ayah tak ingin...”
“Tak ingin apa Yah...?” selaku. “Ayah terlalu banyak alasan...!”
Aku lari kedalam kamarku. Kubanting pintu, dentumanya keras. Ibu mengelus dada, melihat kelakuanku. Ayah tak bergeming sama sekali. Kurebahku tubuhku ke atas kasur. Ku ambil Hape yang ada di atas meja. Kuketikkan beberapa kalimat, dan kukirimkan pada sahabat baikku, Handi.
Han, bsok aq ajari naik motor yah..., tpi pake motor kmu. Please... J
Y...
1 lgi, bsok pgi jmput, aq bareng kskolah.
Ok.. tumben, biasax d anter.
lgi ngambek sm Ayah. L
Hem...
Makasih Han.
Handi tak membalas sms-ku. Aku tahu, ia pasti lagi sibuk merayu cewek – cewek. Kuletakkan kembali Hapeku di atas meja. Ku pejamkan mata, hatiku masih terasa sakit. []
***
Tit...tit...
Handi berdiri di atas motor gede-nya didepan rumahku. Aku langsung beringsut menghampirinya. Ayah hanya diam melihatku. Aku sengaja tak menyapanya hari ini. Aku masih marah padanya. Sakit hatiku luar biasa padanya. Mungkin ini pemberontakanku yang pertama. Aku hanya ingin membuktikan pada Ayahku. “Aku sudah dewasa Yah, bukan Anak kecil lagi.
“Nggak pakai Helm Ded.” Tegur Ayahku.
Aku tak mengiraukannya. Aku langsung naik dibelakang Handi. Handi segera melarikan motornya. Angin menerjang diriku. Aku berpegangan erat pada tubuh Handi.
Beberapa menit kemudian, kita telah sampai di tanah lapang. Aku tak sabar ingin belajar naik motor.
“Ded, Nggak bawa helm?” Tanya Handi. Handi berganti posisi denganku. Sekarang aku yang ada di depan. Kupegang stang motor, tanganku sedikit bergetar.
“Lagi males bawa Han!” jawabku singkat.
“Tumben, biasanya kamu yang paling cerewet soal helm.” Ucap Handi heran.
“Udah, ajari saja aku naik motor. Gimana nih cara menyalakannya Han?” tanyaku. Aku sedikit kebingungan. Handi menyokongku dibelakang.
“Helm-kan buat keselamatan Ded, seperti yang kau bilang.”
“Iya... sekarang ajari aku naik motor. Biasanya kamu, Aku ingatkan juga nggak pernah peduli Han. Kenapa sekarang jadi kamu yang resek.” Ucapku kesal. Emosiku belum stabil. Aku masih mendendam pada Ayahku.
Handi tak banyak berkomentar, ia menuruti keinginanku. Ia mengajariku naik motor. Lapangan ini sudah aku putari sebanyak tujuh kali. Handi sangat sabar menuntunku. Ia mengajarkan beberapa trik naik motor. Cara berbelok yang baik, atau menge-rem motor. Aku tersenyum bangga. Aku orang yang cepat tanggap. Baru sebentar saja sudah mahir. Aku sedikit menyombongkan diri.
Kami berhenti sejenak, aku parkir motor gede Handi di seberang jalan. Aku sedikit kelelahan.
“Hebat kamu Ded,..!” puji Handi. “Kau sudah bisa mengontrol motorku dengan baik.”
“Ya...” aku tersenyum senang. “Ayah, lihat... aku bisa naik motor, meskipun tak kau ajari.” Pekikku dalam hati.
Hari sudah sore, lebih dari 10 kali aku keliling lapangan mengendarahi motor Handi. Sendiri, tanpa Handi dibelakangku. Ia mengarahkanku dari jauh.
“Ded, Ayo pulang.” Teriak Handi.
Aku mengarahkan motor ke arah Handi. Ku atur nafasku sebentar. Handi juga tampak kelelahan. Aku setuju untuk pulang. Mungkin besok aku akan minta Handi untuk mengajariku lagi.
“Ok... Aku yang nyetir kali ini.” ucapku sombong. Handi sedikit ragu, tapi Aku menyakinkan dirinya. Lagi – lagi ia tak berani menolak keinginanku. Kulajukan motor Handi sesuai keinginanku. Ia agak ketakutan dibelakang, beberapa kali mencoba mengarahkan diriku. Tapi Aku terlalu sombong, rasa sakit hatiku masih belum pulih sepenuhnya.
“Ded, pelan – Pelan.”
“Iya...!”jawabku pelan. Handi terus mengomel dibelakangku.
Aku tersenyum senang, Kulajukan motor semakin kencang. Aku ingin semua tahu, kalau Aku bisa mengendarahi motor. Aku menerjang angin sore ini. Jalanan sedikit ramai, Aku sama sekali tak takut. Ku salip beberapa motor di depanku.
“Ded, jangan ngebut. Pelankan...!! Tekan klakson kalau mendahului, Ded!” teriak Handi.
“Kau takut Han?”
“Tidak..., Tapi Ded!”
“Apa?, biasanya kau juga gitu Han!”
Aku semakin bersemangat. Tak ada yang bisa menghalangiku hari ini. Aku meliuk – liukan motor dijalanan.
“Ded, nyalakan lampu sein”
Lama – lama Aku sedikit geram dengan Handi. Ia terus mendikte-ku dari belakang.
“Tenang Han, Percaya padaku. Aku bisa melakukan ini.!”
“Tapi kau baru mulai belajar hari ini Ded. Kendalikan emosimu. Ini jalan Raya Ded..!”
“Ah... KAU HAN!” Aku tak menghiraukan omongan Handi dibelakang. Aku semakin bersemangat. Kutarik Stang, dan ku lajukan motor dengan kecepatan penuh. Aku tak peduli. Aku berada di atas angin sekarang. Terbang bebas, melayang. Ku lampiaskan kekesalanku pada Ayah...
Ayah...
Aku melihat Ayah melaju didepanku dengan motor matic-nya. Wajahnya sedikit pucat. Mungkin ia mencemaskanku. Ia berusaha menghentikan diriku. Ia menghentikan motornya di tepi jalan. Ia turun dan melambai ke arahku. Ah, aku tak peduli. Ku tarik stang lebih keras lagi.
“Ded, Rem... injak Rem.” Teriak Handi dari belakang. Aku tak bisa mengontrol kecepatan motor Handi. Si Macan Putih melaju dengan kecepatan tinggi.
“Ded....!” Ayah memekik memanggilku.
Brak.... Bruagh..... Bruagh....
Suara dentuman terdengar keras. Sesaat aku melayang di udara kemudian jatuh. Ku buka mataku pelan. Aku masih bisa merasakan tubuhku. Ku pegang pergelangan tanganku, sedikit sakit. Aku berusaha untuk bangkit. Handi tergeletak di atas aspal. Ia tak bergerak, matanya menatapku kosong. Dari belakang kepalanya mengalir cairan berwarna merah. Si Macan Putih terjungkir tak jauh darinya. Bentuknya tak beraturan lagi, beberapa bagian lepas. Banyak orang berkerumun di sekitar kami. Mereka mencoba membantuku. Aku terlalu angkuh, ku tepiskan tangan mereka aku berjalan sempoyongan. Hingga, kulihat Ayah, Ya... Ayahku. Tubuhnya terhimpit Si Macan Putih. Ia mencoba melepaskan diri dari terkaman Si Macan. Aku tak tahan lagi, kurasakan nyeri di sekujur tubuhku. Tubuhku merosot kebawah, jatuh di tanah ber-aspal.[]
***
Kalimat Ayah sebelum meninggal setahun yang lalu masih tersimpan rapi dibenakku. Aku tak akan membiarkan ingatan itu terhapus. Meskipun ingatan itu membuatku sakit. Sekarang Aku tahu, seribu satu alasan Ayah melarangku naik motor sendiri. Diriku belum bisa mengendalikan emosiku sendiri.
Ah... Kulajukan pelan Si Merah, motor matic peninggalan Ayahku. Ayah pasti bangga padaku sekarang. Aku telah mengantongi SIM dan aku telah––benar – benar––Mahir mengendalikan motor. Handi sahabat baikku juga pasti akan bangga padaku. Di atas sana kupastikan ia akan terus tersenyum. Takkan kubiarkan ia bersedih, biarkan hanya diriku yang menangisi ketiadaannya. Kehilangan 2 orang yang paling Aku sayang sudah cukup bagiku.
Aku bisa mengontrol emosiku Yah.... Aku memakai Helm. Aku memperhatikan rambu – rambu lalu lintas. Aku tak akan ngebut dijalan, Aku tak akan arogan dijalan. aku selalu berhati – hati dan waspada sekarang yah.. ! Aku bahkan tak berani mendahului kendaraan lain. Ayah... Seminggu sekali aku cek motor Ayah. Kupastikan semua baik – baik saja. Kaca Spion, Rem, Lampu Sein. Rantai, Oli, Ban dan juga Kenangan Ayah.” lelehan panas mengucur dari kedua mataku. Aku tak bisa menahan rasa sesalku.[]

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com